Sabtu, 04 Desember 2010 - 11:25:36 WIB
Runtuhnya Sebuah Simbol
Artikel: - Dibaca: 1240 kali

Fenomena, sebagaimana saya pahami, merupakan satu-satunya kenyataan yang sejati dari segala sesuatu. Semua sebutan yang tercakup kedalam fenomena ini, dan dalam tingkat tertentu fenomena ini, memang dapat ditunjuk dengan sejumlah sebutan ini, dan bahkan meliputi sebutan-sebutan yang bertentangan. Tetapi, terus terang saja, kata ini menunjuk pada suatu realitas yang tak dapat didekati dengan cara kerja dan distingsi-distingsi logika. Dengan demikian, ‘fenomena’ selalu dikaitkan dengan ‘kebenaran logis’ yang ini harus ditambahkan hanya mungkin dalam suatu dunia maya. Saya menyatakan bahwa fenomena ini adalah realitas, dan bahwa fenomena ini dapat dipertentangkan dengan apa saja yang mengubah apa yang sebenarnya ke dalam ‘dunia sejati’. Kalau orang harus memberi nama yang tepat pada realitas ini, serbutannya adalah ‘kehendak untuk berkuasa’(Nietzsche)

Mahasiswa yang dikenal sebagai “Agent of Change” , sekarang sudah mengalami pergeseran nilai dan budaya, mahasiswa yang diharapkan menjadi tulang punggung Negara, dimana penelitian dan ide-ide briliannya dapat merubah stagnasi kehidupan masyarakat, tapi yang sekarang terjadi mahasiswa sibuk dengan aksesoris dirinya, sedangkan respek social diabaikannya.


Pergeseran nilai dan budaya mahasiswa tak lepas dari campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan di Negara ini. Mahasiswa berprestasi dan yang mempunyai ide-ide brilian dibiarkan begitu saja. Dikti yang mengadakan lomba penelitian dan karya tulis ilmiah tiap tahun, pemenangnya hanya dapat tropi dan piagam, sedangkan hasil dari pemikiran mahasiswa dibiarkan saja tidak diaplikasikannya. Tidak adanya reward dari pemerintah, membuat sebagian besar mahasiswa malas berfikir, mereka beranggapan bahwa kuliah hanya untuk mendapatkan ijazah dan dapat pekerjaan yang layak, bagaimana mau memikirkan orang lain semantara mengurus dirinya sendiri masih susah.
Penyebab lain adalah rendahnya mutu pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa, banyak sarjana yang tidak menguasai ilmu program studi yang mereka tempuh, mereka hanya dapat gelar sedangkan ilmunya mereka tidak menguasai. Apalagi sekarang banyak kasus jual-beli nilai, ijazah instant dan semacamnya yang semakin memperburuk keadaan.


Terlepas dari semua itu, gejolak politik yang tiada henti, perebutan posisi sebagai wakil rakyat, dari tahun ketahun silih berganti, uang rakyat dihamburkan untuk kebutuhan politik, Kestabilan belum juga diraih, janji dan komitmen yang sekedar impian belaka dimana gebrakan tidak menimbulkan efek nyata yang dapat dirasakan. Kebijakan-kebijakan yang dianggap penting dan berguna malah menampakkan definitive belaka, lebih jauh merupakan beban saja bagi rakyat. Hal ini sangat berdampak pada lingkungan civitas akademika, kampus sebagai ajang untuk menunjukkan eksitensi dirinya demi mendapat pengakuan serta posisi diranah politik.


Mahasiswa sudah kehilangan pegangan, kuliah hanya untuk memenuhi persyaratan dalam dunia kerja. Padahal tugas utama mahasiswa adalah belajar demi mempersiapkan dirinya dimasa depan melalui kualitas pendidikannya, mahasiswa secara mendasar terkondisikan untuk berada pada kedudukan yang memiliki akses idealisme murni yang peka terhadap lingkungan sekitarnya, yang diharapkan dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi Negara ini.


Kalau mahasiswa sudah mempunyai pola pikir yang stagnan dan cendrung pasif, jangan harap Negara ini akan maju, meskipun sumber daya alam kita melimpah. Kita akan selalu menjadi budak di tanah kita sendiri.(*)